Charger

Mau tahu apa yang ada di benak seorang anak berusia 8 tahun tentang pelanggan? Ikuti tulisan di bawah ini:

Sore itu, saya dan Yasmin, anak saya yang berusia 8 tahun, datang mengunjungi warnet yang saya kelola. Pengunjung warnet cukup ramai, dari 12 bilik yang tersedia hanya 2 bilik yang kosong. Saya langsung menuju meja operator, sedangkan Yasmin menggunakan salah satu bilik yang kosong untuk membuka dan mengunduh gambar dari situs favoritnya: Bratz.

Berselang 10 menit sejak kedatangan kami, masuklah seorang pengunjung yang berprofesi pelaut dan keturunan Afro-American (Bagaimana saya tahu dia seorang pelaut? Mudah saja, dia datang ditemani seorang pemandu yang juga pengemudi ojek motor). Dengan sopan dia menanyakan apakah ada bilik yang dapat digunakan, operator mengangguk sambil mengantarkan ke bilik yang kosong persis bersebelahan dengan bilik yang digunakan Yasmin. Setelah log-in dan browsing beberapa saat, si pelaut kembali mendatangi meja operator dan menanyakan apakah kami bersedia meminjamkan charger untuk telephone selular miliknya. Saya jawab bahwa kami tidak mempunyai charger untuk merk telephone selular tersebut. Dia tampak kecewa karena menurutnya telephone selular miliknya adalah merk paling favorit di Kampung Besar. Saya hanya menggeleng dan tersenyum sambil memperlihatkan bahwa saya dan operator menggunakan merk lain. Dia mencoba mengerti kemudian kembali melakukan browsing, saya dan operator meneruskan percakapan yang terputus.

Sampai di sini semua saya anggap biasa saja, tidak ada yang aneh dengan permintaan si pelaut tadi. Namun bagi Yasmin kejadiannya tadi sarat makna. Ketika si pelaut meninggalkan warnet sekitar 30 menit sejak kedatangannya, Yasmin langsung menghampiri saya dan berbisik, “Pa, harusnya di sini (warnet) nyediain semua charger hp.” Saya menjawab sambil lalu, “Untuk apa beli charger kalau hp-nya ngga punya?” Yasmin seperti gemas karena saya tidak mengerti yang ingin disampaikannya. Dia semakin mendekat dan tidak lagi berbisik, “Orang tadi tuh mau telephone anaknya, tapi hp-nya mati. Papa sih ngga nyediain charger.” Saya makin bingung kenapa Yasmin berkeras dengan idenya tentang charger telephone selular dan apa hubungannya menyediakan charger dengan kehadiran pengunjung yang bukan pelanggan tetap. Tapi sebelum saya menanyakan semuanya, Yasmin kembali menjelaskan, “Kalau tadi dia dikasih charger dia bisa nelpon, terus dia chatting deh sama anaknya, ‘kan chatting lama pakai internetnya.” Saya hanya meringis sambil mengaruk-garuk kepala yang tidak gatal, salah tingkah tepatnya.

Published in: on Monday, 27 August, 2007 at 3:01 am  Comments (4)  
Tags: ,

The URI to TrackBack this entry is: https://yamin.wordpress.com/2007/08/27/charger/trackback/

RSS feed for comments on this post.

4 CommentsLeave a comment

  1. kok garuk-garuk kepala sih? memangnya dia nyontoh siapa?

  2. =)) jago juga jiwa bisnisnya .. keren … sekali-kali jadi jagain warnet aja .. kembaliin duit …

    Peluang bisnis tuh.. sewain charger untuk ngecharge hp. 1 jam Rp. 1500,-

  3. wah mantab, Yasmin udah nurunin jiwa bisnis bapaknya.

  4. wah klo nge-charge nya nyampe 3 – 4 jam.. bisa kaya dong om..
    sekalian aja jual pulsa.. siapa tau ada yg minat 😛
    katanya warnet mau dikonsep baru.. warnet sehat 🙂


Leave a comment